Bebas Bersyarat Setya Novanto Picu Kontroversi, KPK Akui Prosedur Hukum Harus Tetap Berlaku

Bebas Bersyarat Setya Novanto Picu Kontroversi, KPK Akui Prosedur Hukum Harus Tetap Berlaku

belikaca.id  – Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Setya Novanto. Putusan ini memangkas hukuman dari 15 tahun penjara menjadi 12,5 tahun. Setelah menjalani sekitar dua pertiga masa hukumannya, ia memenuhi syarat untuk bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025. Selain itu, ia juga melunasi denda sebesar Rp500 juta serta membayar sebagian besar uang pengganti kerugian negara. KPK bahkan telah menerima surat bukti pelunasan sebagai bagian dari syarat administratif. Karena itu, proses hukum berjalan sesuai jalurnya meskipun publik menyoroti kebijakan ini.

KPK Tegaskan Pentingnya Menjalankan Prosedur

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa pembebasan bersyarat termasuk dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Ia mengakui bahwa keputusan ini menimbulkan rasa tidak puas di masyarakat. Namun, ia juga menekankan bahwa semua pihak harus menghormati aturan yang mengikat dalam mekanisme pemasyarakatan. Menurutnya, hukum bukan sekadar soal rasa keadilan, tetapi juga tentang konsistensi menjalankan prosedur. Oleh karena itu, KPK tetap berkomitmen mengawasi proses ini meskipun publik merasa keputusan tersebut tidak sejalan dengan semangat antikorupsi.

Aktivis Soroti Ancaman bagi Komitmen Antikorupsi

Keputusan ini langsung menuai kritik keras dari aktivis antikorupsi. Mereka menilai pembebasan bersyarat bagi koruptor kelas kakap seperti Novanto justru bisa melemahkan efek jera. Selain itu, mantan penyidik KPK dan sejumlah akademisi juga menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap aturan remisi maupun pembebasan bersyarat. Mereka menegaskan bahwa pemerintah harus memperketat pemberian keringanan bagi pelaku korupsi. Dengan begitu, integritas hukum tetap terjaga dan upaya pemberantasan korupsi tidak kehilangan wibawanya.

Publik Menuntut Pertimbangan Moralitas dan Dampak Sosial

Di sisi lain, masyarakat masih menyimpan luka mendalam akibat kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Novanto. Skandal itu merusak kepercayaan publik terhadap pelayanan pemerintahan sekaligus menimbulkan kerugian besar bagi negara. Karena itu, publik menilai pembebasan bersyarat bukan sekadar urusan administrasi hukum. Mereka berharap pemerintah dan lembaga terkait mempertimbangkan moralitas publik serta dampak sosial dari setiap keputusan. Selain itu, masyarakat juga mendesak agar kebijakan remisi di masa depan memperhitungkan besar kecilnya kerugian negara, bukan hanya durasi hukuman yang sudah dijalani. Dengan demikian, penegakan hukum tidak berhenti pada formalitas, melainkan juga menjaga kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam melawan korupsi.

nita mantan steamer